Jakarta-Geliat Citayam Fashion Week (CFW) mengingatkan saya pada Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan yang rutin menyelenggarakan Extension Course Filsafat dan Budaya pada paruh waktu 11 Maret – 03 Juni (setiap Jumat) pada 2016 bertajuk Fashion, Sex, and Culinary: Urban Life Style.
Georg Simmel pada1971 sudah mengantisipasi bahwa kehidupan kaum urban-modern tampil terutama dalam wajah metropolitan. Kehidupan individu di sana ditandai dengan kondisi psikologis dasar: intensifikasi emosi akibat pergeseran cepat aneka rangsang eksternal maupun internal yang tanpa henti, rangkaian kejutan yang tanpa motivasi.
CFW semakin viral ketika para pesohor politik, penggiat media sosial, pelaku digital, para conten creator dan sebagian artis ikut masuk. CFW pun jadi primadona nasional yang menuai tanggapan dari beragam tokoh dan masyarakat secara umum. Fenomena ini merupakan geliat perubahan sosial yang secara alamiah sebagai proses adaptasi sekaligus responsif terhadap arus globalisasi melalui penetrasi kecanggihan teknologi untuk mendorong adanya transformasi budaya dan revolusi sosial.
Proses transformasi ini yang kemudian jadi urban life style modern. Hal ini terjadi karena teknologi dengan beragam platform digitalnya mampu merayu manusia secara instan untuk memamerkan pesona diri sebagai wujud gemerlapnya eksterioritas kultur abad-21. Ada tiga identitas yang menandai proses transformasi ini. Pertama, fashion. Kedua, seks. Ketiga, kuliner.
Menurut Prof Bambang Sugiharto, ketiga identitas pembentuk kaum urban ini adalah bagian dari mesin industri yang menggerakkan kehidupan kota modern yakni industri hasrat, industri identitas, industri pencitraan, dan industri selera. Dengan hadirnya beragam platform digitalisasi, ketiganya dikonstruksi lewat persuasi, dijajakan lewat seduksi. Secara kontekstual fashion, seks, dan kuliner adalah manifestasi idealisme modern yang fokus pada produksi kebaruan atau inovasi. Lebih tepatnya social-cultural change.
Estetisasi Tubuh
Salah satu tendensi modernitas adalah menjamin kebebasan tubuh. Prof Bambang Sugiharto menyebutnya estetisasi tubuh. Soal bagaimana manusia sebagai pribadi yang otonom dengan bebas menikmati kebertubuhannya. Jiwa sebagai identitas tradisional yang alami, natural, dan universal mulai diabaikan. Identitas modernitas dalam diri manusia justru tubuh.
Seiring kecanggihan teknologi, estetisasi tubuh kini diciptakan. Perangkat kecanggihan teknologi mampu memberi ruang bagi seni/style dalam hal produksi untuk merekayasa berbagai objek yang bisa meredefinisi ulang siapa itu manusia di abad ke-21 ini. Pertama, estetisasi tubuh diciptakan melalui fashion. Bagaimana tubuh dicitrakan melalui seni atau gaya berbusana.
Pakaian meredefinisi tubuh serta memberi bentuk dan ekspresi yang berbeda. Misalkan cara berpakaian ala bikini oleh kaum wanita mau menunjukkan bentuk body atas tubuh yang bisa memicu rasa kagum, merangsang imajinasi, dan mengundang hasrat bagi sebagian kaum pria.
Kedua, estetisasi tubuh diciptakan melalui kebebasan seks. Bagaimana cara tubuh menikmatinya. Pada konteks ini, problem etis dan moralitas jadi dilematis. Dikarenakan, kenikmatan dalam seks bukan hanya tubuh pria dan wanita, tapi ada pesona teknologi digital yang bisa jadi penentu bagaimana seks dipandang sebagai seni/style melalui aksi perekaman video, penyebaran video, foto telanjang, bahkan aplikasi semacam Tiktok dan Instagram dan semacamnya secara terang-terangan dipamerkan secara vulgar tanpa ada batasan etis dan moralitas baik individu maupun ruang public.
Sumber kenikmatan justru ada di sana. Intinya, ketika bicara kebebasan seks, maka ada dimensi eksplorasi. Ketika menekankan batasan etis dan moralitas, maka ada dimensi liberasi. Seks bukan lagi sebagai aktivitas privat, melainkan komunikasi publik melalui kekuatan digitalisasi.
Ketiga, perihal kuliner. Pada aspek ini bukan soal bagaimana cara tubuh diberi makan. Memang sejak awalnya kuliner dipandang sebagai hal yang biasa. Ia diabaikan dalam jejak-jejak peradaban. Namun, abad ke-21, millennium ketiga, bersamaan dengan penetrasi teknologi digital, kuliner justru dianggap sebagai seni. Karena pada saat yang sama dalam kuliner ada eksplorasi rasa, ada olah bentuk, ada makna kultural tersimpul di sana, ada simbol-simbol, ada tuntutan keahlian tertentu yang unik, serta estetika makanan atau penciptaan makanan.
Gagasan penampilan abad ke-21 sudah dipengaruhi oleh budaya populer yang tersaji dalam komunikasi massa sebagai akibat dari revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Dengan otonomi diri setiap orang memahami bahwa penampilan individu adalah masalah pribadi. Oleh karena itu, harus mencerminkan kebutuhan individu dan komunitas tertentu daripada tatanan nilai masyarakat.
Dalam teori desain menurut Tiarma Sirait, seorang desainer kawakan yang juga akademisi, setiap orang pasti punya konsep pendekatan konseptual untuk berani berseni, cara mengeksplorasi tema-tema seperti cinta dan nafsu, yang mengandung berbagai pengaruh budaya populer ke dalam kultur lokal, yang kemudian tampil sebagai konsumerisme massa. Yang pasti dalam dunia modernitas, seni adalah budaya yang membebaskan. Punya potensi untuk menginspirasi dan merangsang imajinasi.
Sehingga, fashion dalam estetika tubuh adalah satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Keduanya menyatu dalam konsep seni kebertubuhan yang diekspresikan melalui cara berbusana. Model seni ini masuk dalam ruang pesona yang misterius, lebih dalam lagi adalah pesona kegenitan subyektif.
Sabar Situmorang dalam artikelnya bertajuk Fashion, Art, dan Industri mengisahkan bahwa melalui fashion manusia akan diajak menjelajahi daya kreatif, merangsang nalar, mengundang imajinasi, mendoktrin kemampuan berekspresi, melatih emosi untuk berempati, kemampuan logika, dan menerobos keseriusan untuk berekreasi, serta menciptakan kemampuan transendensi untuk memaknai peristiwa hidup.
Dialog sosial
Millennium ketiga abad ke-21 adalah era aksesoris dan selebritis. Penetrasi teknologi digital makin menguatkan dua pesona ini. Aksesoris membuat orang hidup berdasarkan apa yang dipakai, apa yang dikenakan, dan apa yang dimiliki bahkan standar harga tertentu. Esensi hidupnya dari materi yang melekat dengan dirinya.
Selebritas membuat orang hidup berdasarkan fantasmagoria. Hidup dengan citraan, berita, dan pesona diri yang ilusoris, bahkan pesona kesalehan yang sesat dan dangkal tapi sensasional. Dan, tanpa sadar kehadiran teknologi digital jadi medan pengakuan sosial baru dengan beragam platformnya mampu merayu manusia untuk tampil magis dalam kemasan media digital sekaligus menjinakkan manusia untuk tampil sensasional dalam lamunan indah tanpa esensi.
Oleh karena itu, dalam kehidupan urban ada tiga ruang. Pertama, ruang privat; adanya tuntutan survival dari pesona individu. Lingkup di mana adanya dunia kerja impersonal yang mengarah pada tendensi narsistik.
Kedua, ruang publik; situasi di mana adanya godaan dan pesona dari beragam latar belakang baik konteks sosial maupun budaya. Ruang terjadinya disintegrasi komunitas yang mengarah dari komunitas sosial ke kultur sharing maya.
Ketiga, pesona budaya kafe adalah penyatuan antara modern urban dengan heterogenitasnya. Ruang dialog sosial baru yang tren menjadi selebritis global dengan daya pikat media digital sebagai magnet. Tradisi guyub di rumah tetangga bergeser ke cafe culture.
Kiranya para pemangku kepentingan harus jadi fasilitator untuk menjembatani masa depan dialog sosial para kreator muda ini agar ide dan gagasan mereka dalam menciptakan kreativitas bisa di-branding “go global” dan di-framing sebagai industri kreatif anak bangsa.
Di balik gemerlap CFW, data riset terbaru oleh Alvara Research Center dan Katadata bertajuk Masalah yang Perlu Diperbaiki di Indonesia pada Juni 2022 menyatakan, tingkat pengangguran Gen Z 74,8%, Milenilal 72,3%, dan Gen X 73,5%. Masih diperiode yang sama, Alvara Research Center juga merekam tingkat kecemasan menurut generasi karena beragam masalah bagi masa depannya. Tercatat Gen Z 31,7% tidak cemas, 40% cukup cemas, 23,3% pada posisi cemas, dan 5% merasa sangat cemas. Sementara untuk Gen Milenial 33,2% tidak cemas, cukup cemas 38,8%, 23,5% cemas, dan 4,6% sangat cemas.
Dari sini kita bisa menarik empat skema untuk menjembatani. Pertama, pemerintah sebagai otoritas utama harus menjadi inisiator dialog publik. CFW sudah menjadi kenyataan dari sisi branding yang cukup menyita perhatian publik, tinggal bagaimana kolaborasi lintas sektor untuk memanfaatkan momentum kreatif ini agar lebih terintegrasi dengan konteks sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan lainnya.
Kedua, ruang kreativitas. Berhubung inisiatif CFW adalah usia milenial dan generasi Z maka, sebaiknya pemerintah di wilayah sekitar bisa berkolaborasi mempersiapkan ruang yang khusus untuk pengembangan kreativitas mereka. Mulai dari perencanaan sampai pada pergelaran, biar tidak terjadi setiap hari atau setiap pekan karena pasti mengganggu aktivitas publik yang lain. Sekaligus mengantisipasi pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, pengembangan literasi digital. Salah satu kekhasan proses pembelajaran era digital adalah proses fleksibel. Otoritas terkait bisa mengintegrasikan pola pendidikan non formal melalui pelatihan, workshop, secara kontekstual berbasis pada komunitas kreatif.
Keempat, momentum dialog keberagaman. Sikap keterbukaan untuk menerima perbedaan apapun itu selalu lebih cepat terbentuk dari kegiatan atau aktivitas seperti CFW ini. Melalui generasi muda ini, paling tidak masa depan bisa dibangun dengan semangat kreativitas, mental kompetisi, dan sikap terbuka. Secara berkala bisa diinisiasi pergelaran dalam nuansa pesan perdamaian dan kampanye kesadaran ekologis bagi generasi muda.
Bagi kaum urban, era modern identik dengan yang tidak pasti. Dunia yang tak terprediksi. Perubahan menjalar dengan gesit. Fashion, seks, dan kuliner adalah penanda identitas kehidupan kaum urban. CFW adalah salah satu aksen urban life style yang geliatnya menjalar dengan gesit dari generasi kreatif. Proses adaptasi zaman dan akselerasi melalui media digital menguatkan kreativitas generasi muda yang menjadi agen transformasi dan inovator sosial bagi masa depan dialog peradaban lebih humanis.
Marz Wera researcher PPNL, co-founder Youth Futures Leaders.ID