BGS jelas sedang berpromosi dengan pernyataannya itu. Tidak apa-apa. Sah-sah saja. Cukup mulia niatnya. Seperti diberitakan oleh media, dengan perubahan status dimaksud pengontrolan TUKS akan menjadi lebih mudah karena sudah teregistrasi dengan baik. Sesuai namanya, fasilitas ini hanya bisa digunakan oleh perusahaan yang mengoperasikannya untuk melayani kelancaran bisnis di mana dibutuhkan dukungan terminal (laut) untuk itu. Kalangan yang membutuhkan fasilitas terminal biasanya merupakan industri pertambangan, baja, BBM, dan lain-lain. Jadi, ini barang tidak untuk umum.
Menariknya, belakangan, banyak TUKS yang oleh pengelolanya dimanfaatkan juga melayani kargo umum. Praktik ini sebetulnya melanggar aturan yang ada dan dapat disanksi namun belum terdengar ada pengelola TUKS yang diproses secara hukum atas perbuatannya itu. Bisa jadi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak mengetahui situasi yang ada. Atau, bisa juga mereka tahu tetapi tutup mata dengan berbagai alasan. Memakai perspektif BKS, “kegelapan” ini bisa dituntaskan dengan mengubah status TUKS menjadi BUP.
Bisa jadi perubahan status TUKS merupakan jawaban atas masalah yang ada. Kita asumsikan promo BKS dapat memutus kongkalikong di sana. Sayangnya, kebijakan itu, pada sisi lain, dapat memunculkan masalah yang dampak buruknya jauh lebih besar bagi bisnis pelabuhan nasional. Maksudnya begini. Dengan mengubah status terminal untuk kepentingan sendiri menjadi badan usaha pelabuhan akan terjadi “air bah” BUP sehingga bisnis pelabuhan mengalami kelebihan pasokan pemain. Padahal, di banyak negara, sektor ini hanya diisi oleh segelintir pelaku saja. Barrier to entry-nya dibikin tinggi sehingga mereka yang bermodal kuat saja yang dapat masuk ke sana.
“Air bah” BUP itu bisa dimungkinkan terjadi karena, seperti diungkap sendiri oleh BKS, ada sejumlah kemudahan yang akan diberikan oleh pengelola TUKS yang bersedia mengubah status terminalnya. Salah satunya, sebagaimana disinggung sebelumnya di atas, masa konsesi yang lebih lama, yaitu 30 tahun. Prediksi saya, kemudahan juga bakal diberikan dalam bentuk lainnya, dalam hal ini persyaratan permodalan untuk mendirikan BUP. Berdasarkan aturan yang berlaku, pendirian BUP kelas pelabuhan utama harus memiliki modal Rp 1 triliun. Lalu, ada juga persyaratan kepemilikan lahan dan peralatan pelabuhan. Dengan program promo yang ada, semua persyaratan ini berpeluang di-skip. Entahlah.
Banjir BUP tidak hanya berasal dari TUKS yang bertransformasi. Dengan program promo BKS, akan bermunculan badan usaha/perusahaan yang hanya memanfaatkan program dimaksud. Dari sisi permodalan, mereka tergolong cekak. Dan, sudah pasti tidak memiliki lahan atau peralatan. Targetnya hanya untuk mendapat BUP. Mumpung ada promo, demikian pikir mereka. Setelah itu mereka bergerilya mencari mitra (baca: investor) berbekal secarik surat izin. Celakanya, mereka ini malah justru nantinya menawarkan izin BUP kepada TUKS.
Sementara itu, di sisi lain, sudah berdiri dan beroperasi sejak sekian lama badan usaha pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Layanannya mencakup terminal general cargo, peti kemas, penumpang dan sebagainya. Lahan-lahan mereka banyak dikerjasamakan dengan pihak ketiga dan untuk selanjutnya dijadikan TUKS oleh mitra tadi. TUKS hasil kerja sama itu ada yang mengoperasikan terminal BBM, terminal break bulk atau lainnya. Jika TUKS yang lahannya didapat dari kerja sama dengan Pelindo lalu ia menjelma menjadi BUP, maka jelas akan terjadi masalah hukum. Apakah BKS tahu kemungkinan ini?
Pelindo memang lumayan diuntungkan oleh pemerintah (sebelumnya) dengan diberikan lahan di pinggir laut/pesisir yang terbilang luas dengan skema HGU atau HGB. Sayangnya belum semuanya dimanfaatkan oleh perusahaan hingga kemudian datang pihak ketiga yang hendak bekerja sama membangun TUKS. Di seluruh Indonesia lahan dengan status kelolaan oleh perusahaan pelat merah itu sangat banyak. Saya memperkirakan, promo BUP ini akan membuat banyak pihak beramai-ramai mengincar tanah-tanah itu. Kalau Pelindo diajak dalam proses itu, bagus sekali. Bila tidak, sengketa hukum pasti akan muncul.
Yang namanya promo memang menyembunyikan banyak kerumitan. Tidak seindah aslinya. Semuanya ditutupi agar mereka yang tertarik segera menyambar tawaran yang disajikan. Bahwa setelah TUKS berubah menjadi BUP atau ada pemegang izin BUP bermodal cekak mendapatkan apa yang diinginkannya, itu bukan urusan saya…
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta dan RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd’s List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar di beberapa universitas di Jakarta.