Marketnesia.id. Seorang analis bernama Nikola Vaviloc mengklaim bahwa Presiden China, Xi Jinping, telah mempersiapkan perang melawan Barat sejak menjabat sebagai presiden pada tahun 2013.
Meskipun kemungkinan perang antara AS dan China telah menjadi kekhawatiran yang konsisten bagi para pejabat pertahanan dan kebijakan luar negeri, tetapi klaim ini belum mendapat konfirmasi dari sumber yang dapat dipercaya.
Menurutnya Xi sudah mempersiapkan perang sejak menjabat lebih dari satu dekade lalu. Perlu diketahui Xi menjadi Presiden China 14 Maret 2013.
“Sejak berkuasa, kamerad Xi telah bersiap untuk perang,” kata Vavilov, dikutip Senin (6/3/2023).
Pemerintah China telah menegaskan akan meningkatkan pengeluaran pertahanan tahun ini sebesar 7,2% menjadi 1,56 triliun yuan (Rp 3.436,2 triliun), namun laporan tersebut tidak menyebut perang dengan AS.
Selain itu, pemerintah AS pada Desember lalu telah mengesahkan pengeluaran pertahanan lebih dari US$800 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir pada 30 September 2023, yang menunjukkan adanya persiapan militer untuk menghadapi kemampuan militer China dan Rusia.
AnalisisĀ
Kelemahan: Klaim bahwa Presiden China telah mempersiapkan perang belum terkonfirmasi dan dapat menciptakan ketegangan dan ketakutan yang tidak perlu.
Kelebihan: Meningkatnya pengeluaran pertahanan dari kedua pihak menunjukkan adanya persiapan militer yang serius, sehingga mungkin perlu ada upaya diplomasi yang lebih kuat untuk mencegah konflik yang merugikan kedua belah pihak.
Peluang: Kondisi geopolitik global dapat berubah dan menciptakan kesempatan untuk negosiasi damai dan kerjasama antara AS dan China dalam beberapa isu penting seperti lingkungan dan ekonomi global.
Ancaman: Jika konflik antara AS dan China memanas, maka dampaknya dapat merugikan ekonomi global dan stabilitas politik di kawasan Asia-Pasifik, serta meningkatkan risiko krisis kemanusiaan.
Background
Perang dagang antara China dan Amerika dimulai pada 2018 ketika Presiden AS saat itu, Donald Trump, mengumumkan tarif 25% pada impor baja dan aluminium dari China. Sebagai tanggapan, China memberlakukan tarif pada sejumlah produk AS, termasuk kedelai, mobil, dan pesawat.
Kemudian, pada tahun yang sama, AS menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan merugikan perusahaan AS. Ketegangan semakin meningkat ketika AS mengumumkan tarif tambahan pada produk China senilai 200 miliar dollar AS pada tahun 2018 dan China memberlakukan tarif balasan.
Konflik perdagangan terus berlanjut pada tahun 2019, ketika AS menaikkan tarif pada produk China senilai 300 miliar dollar AS dan China kembali memberlakukan tarif balasan. Namun, pada Januari 2020, kedua negara menandatangani perjanjian perdagangan tahap pertama, yang mencakup komitmen China untuk membeli barang-barang AS senilai 200 miliar dollar AS.
Namun, hubungan antara China dan AS kembali memanas pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19 dan tuduhan AS bahwa China tidak transparan dalam menangani wabah tersebut. AS juga menuduh China melakukan pengintaian siber dan mengancam keamanan nasional.
Pada tahun 2021, pemerintahan Presiden AS Joe Biden terus melanjutkan kebijakan keras terhadap China. Pada Maret 2021, AS mengumumkan sanksi terhadap pejabat China dan badan-badan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, dan pada April 2021, AS mengumumkan bahwa China melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang.
Ketegangan perdagangan antara kedua negara terus berlanjut, dan AS melanjutkan sanksi ekonomi terhadap China, termasuk melarang perusahaan AS membeli saham dari perusahaan China tertentu. Pada akhir 2021, AS dan China menandatangani perjanjian perdagangan baru yang mencakup komitmen China untuk membeli barang-barang AS senilai 1,2 triliun dollar AS dalam waktu lima tahun.
Dari sejarah ini, dapat dilihat bahwa hubungan perdagangan antara China dan AS telah lama diwarnai oleh konflik dan ketegangan, terutama dalam hal tarif dan sanksi ekonomi. Kedua negara saling mengutip pelanggaran perdagangan dan hak asasi manusia, dan hubungan antara keduanya masih belum stabil hingga saat ini.
Marketnesia.idĀ