Jakarta, Marketnesia.id – Sejumlah ekonom menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) maksimal 10% pada 2023, dampaknya masih sangat rendah ke perekonomian nasional.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, kenaikan UMP maksimal 10% pada tahun depan, tidak akan banyak berubah terhadap perekonomian di dalam negeri.
“Dan tahun depan itu kan, faktor based effect dari kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akan hilang. Jadi, mungkin hanya menyumbang sekira 0,1% ke inflasi,” jelas David kepada CNBC Indonesia, Senin (28/11/2022).
“Ke pertumbuhan ekonomi apalagi, paling hanya sekedar mempertahankan daya beli saja, jadi tidak menambah ke pertumbuhan sebenarnya. Malah gak ada impactnya,” kata David lagi.
Kendati demikian, jika UMP naik secara berlebihan, David khawatir akan menimbulkan wage-price spiral effect atau efek spiral dari kenaikan upah terhadap harga.
Wage-price spiral effect, kata David sudah terjadi di Eropa. Di mana inflasi sempat menyentuh 8% (year on year/yoy), namun naik lagi menjadi 10% pada Oktober 2022.
Di mana, banyak sektor industri di beberapa negara di Eropa yang upah atau penghasilannya dinaikkan. Sehingga hal ini memicu kenaikan harga barang-barang di Eropa.
“Kalau inflasi naik lagi, ada tekanan lagi bagi BI (Bank Indonesia) untuk meredam inflasi. Dengan mereka bisa jaga, mudah-mudahan kenaikan bunganya tidak terlalu signifikan ke depan,” jelas David.
Kenaikan suku bunga acuan bank sentral akan berimbas kepada masyarakat Indonesia, mulai dari membengkaknya biaya pinjaman usaha hingga turunnya penciptaan lapangan kerja.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics Finance (Indef) Ahmad Tauhid kenaikan UMP 10% dinilai cukup moderat alias jalan tengah untuk otoritas dalam mengelola perekonomian ke depan.
Tren inflasi ke depan, kata Tauhid juga salah satu hal yang harus diperhitungkan pemerintah. Sebab persoalan inflasi di dalam negeri, adalah dari terbatasnya ketersediaan pasokan.
Hal ini tercermin dari mobilitas masyarakat sudah mulai longgar, membuat kurva permintaan bergeser cukup pesat, sementara kurva penawaran tetap atau lambat bergeser.
“Gak usah khawatir, tanpa ada kenaikan upah inflasi juga tetap terjadi. Di Indonesia lebih bukan karena konsumsinya, bukan karena demand tapi supply problem,” jelas Tauhid.
“Inflasi kita kan persoalannya supply. Ada cabai, bawang merah ini paling besar. Juga ada administered price, kenaikan harga BBM, cukai rokok, tiket pesawat, dan sebagainya. Angka 10% sudah cukup moderat menggambarkan level inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” kata Tauhid lagi.
Oleh karena itu, menurut Tauhid dampak kenaikan UMP maksimal 10% pada tahun depan akan sangat rendah dampaknya terhadap laju inflasi nasional.
“Tahun depan, inflasi sebenarnya bukan karena kenaikan upah, tapi disebabkan cost dari kenaikan suku bunga. Suku bunga pinjaman yang mereka jadikan untuk input-input produksi, pembelian barang untuk produksi, alat bahan, dan sebagainya,” jelas Tauhid.