The Great Depression (Depresi Besar), adalah sebuah peristiwa krisis ekonomi di Amerika Serikat ketika ribuan warga Amerika mengantre sembako terjadi pada 1930-an. Sejarah mencatat, The Great Depression membuat trauma berat negara adidaya tersebut.
Namun, peristiwa seperti yang tercatat dalam sejarah belasan dekade lalu, terjadi saat ini. Ribuan warga AS juga mengantre sembako untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Bak getok tular, krisis merambat ke negara-negara Eropa hingga Asia dan Asia Tenggara. Sejumlah ahli menyatakan setelah Sri Lanka, Turki, Argentina, Mexico, Mesir, Malaysia dan puluhan negara lain terdampak ekonomi gloomy.
Di Indonesia, International Monetary Fund (IMF) punya argumen berbeda. Menurut mereka, Indonesia tidak termasuk negara yang masuk jurang resesi. Ya, ini melegakan, setidaknya menciptakan harapan atau optimisme. Terutama bagi milenial yang sahamnya nyangkut karena pompomers atau malas baca laporan keuangan.
Presiden Jokowi terus meyakinkan bahwa Indonesia baik-baik saja karena sektor komoditas yakni batubara jadi andalan dan penopang PDB saat ini. Syukurlah, ternyata ada untungnya juga ya perang Ukraina-Rusia karena membuat pasokan batubara dan gas global menipis kemudian komoditas kita jadi laku.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut akan mengambil langkah pengurangan utang luar negeri sebesar Rp216 triliun. Walaupun sepertinya bukan langkah baru karena bagian dari program penanganan pandemi sejak 2021. Tapi realistis di tengah catatan PDB nasional yang katanya masih stabil.
Apakah kita selamat? Sejak kemarin sampai hari ini, Rabu-Kamis, (20-21 Juli), “baladewa” di Bank Indonesia (BI) sedang berunding menentukan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dulu bernama BI Rate.
Sebenarnya ini rapat bulanan biasa, namun terasa berbeda di tengah situasi ekonomi global makin panas setidaknya sejak The Fed menaikkan suku bunga pada Maret 2022 lalu. Pilihannya ada dua, BI akan bertahan di suku bunga 3,5% atau memilih menaikkan guna menekan bank agar tidak jor-joran mengumpan kredit. Implikasinya, bisa dibaca pasar sebagai sinyal bahaya kondisi ekonomi RI.
Bagi kita wong cilik, hanya bisa berharap. Senang juga banyak beredar narasi akan optimisme ekonomi RI sedang baik-baik saja. Seperti judul lagu Bob Marley, “Everything’s Gonna Be Alright”. Tapi dalam hati masih terselip ingatan pahit akan kemelut minyak goreng, harga sembako yang melambung dan berita PHK di perusahaan yang konon masuk daftar unicorn.
Nah ayo kencangkan sabuk. Bagi bapak-bapak, hitung lagi gelas kopinya dan udutnya. Bagi ibu-ibu, hitung lagi duit belanjannya. Bagi ade-ade gemoy hitung lagi uang jajan bobanya.
Apapun yang terjadi, tetap semangat dan bersatu!
Oleh: Yudo Widiyanto, (Warga biasa penikmat berita ekonomi dan pengasuh Marketnesia)