Jakarta, Marketnesia.id – Hampir delapan bulan lamanya pasar finansial Indonesia menderita. Investor asing menarik dananya dari pasar obligasi ratusan triliun rupiah. Namun, kabar baik bagi Republik Indonesia muncul bertubi-tubi di November, termasuk dari pasar finansial.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang bulan ini hingga 21 November, investor asing melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp 10 triliun. Porsi kepemilikan asing pun meningkat menjadi Rp 723,33 triliun.
Capital inflow yang terjadi merupakan kabar bagus, jika terus berlanjut bisa menjadi modal bagi rupiah untuk menguat. Rupiah sepanjang tahun ini terpuruk akibat capital outflow di pasar obligasi.
Jika rupiah mampu menguat, dampaknya akan besar. Inflasi bisa menjadi lebih terjaga, daya beli masyarakat tetap kuat, beban pembayaran utang baik pemerintah maupun swasta berkurang, beban impor minyak dan gas juga menurun, dan masih banyak lagi.
Inflow yang terjadi di pasar obligasi sepanjang bulan ini juga menjadi yang terbesar sepanjang 2022.
Maklum saja, perang Rusia-Ukraina serta bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga membuat investor asing menarik modalnya dari pasar SBN.
Tercatat sepanjang tahun ini, inflow hanya terjadi di Februari, Agustus dan November.
Pada Maret, saat awal-awal perang Rusia – Ukraina, plus kenaikan suku bunga The Fed, capital outflow yang sangat masif terjadi, sekitar Rp 48,3 miliar.
Aksi jual SBN oleh investor asing tersebut masih terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Sepanjang tahun ini hingga 21 November lalu, total outflow mencapai Rp 168 triliun.
Tidak hanya di pasar sekunder, lelang obligasi yang dilakukan pemerintah juga kembali diminati investor asing.
Jumlah penawaran dari investor asing pada lelang Surat Utang Negara (SUN), Selasa (23/11/2022) kemarin mencapai Rp 6,4 triliun. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan lelang sebelumnya yang tercatat Rp 3,62 triliun, dan naik tiga kali lipat dibandingkan pada lelang sebulan sebelumnya yakni 27September 2022 (Rp 1,7 triliun).
Dari total penawaran Rp 6,4 triliun yang datang dari investor asing, pemerintah menyerap utang sebesar Rp 3,68 triliun. Jumlah tersebut menjadi yang tertinggi dalam tujuh lelang terakhir.
Selain itu, Cost of fund untuk Pemerintah turun dibanding lelang sebelumnya, tercermin pada Weighted Average Yield (WAY) Obligasi Negara yang dimenangkan turun sebesar 15 sampai dengan 39 bps dibandingkan WAY Obligasi Negara pada lelang sebelumnya.
Perekonomian Indonesia unjuk gigi di tengah isu resesi yang melanda negara-negara maju, bahkan dunia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal pekan lalu mengumumkan realisasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% (year on year/yoy). Rilis tersebut sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 5,7%, dan Bank Indonesia (BI) 5,5%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%.
Pertumbuhan tersebut cukup tinggi, bahkan jika menghilangkan periode anomali akibat low base effect pada kuartal II-2021, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 adalah yang tertinggi sejak kuartal IV-2012 atau dalam 10 tahun terakhir di mana ekonomi Indonesia tumbuh 5,87%.
Bank Indonesia melaporkan IKK Oktober sebesar 120,3, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 117,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang abtas antara zona optimis dan pesimis. Di atasnya 100 artinya optimis, semakin tinggi tentunya semakin bagus.
Saat konsumen semakin optimistis, maka belanja bisa mengalami peningkatan yang pada akhirnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, di kuartal III-2022 kontribusinya lebih dari 50%.
Jika dilihat lebih detail, kenaikan IKK ditopang oleh Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Keduanya tercatat naik menjadi 112,3 dan 128,3 dari sebelumnya 108,3 dan 126,1.
Kenaikan tersebut terbilang tajam, melihat IEK juga memberikan optimisme ke depannya perekonomian Indonesia masih akan kuat meski dunia terancam mengalami resesi di 2023.
Sebelumnya S&P Global juga melaporkan purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia tumbuh 51,8 pada Oktober. Meski turun cukup dalam dari bulan sebelumnya 53,7 tetapi masih berada di atas 50.
Angka di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.
Jika dilihat lebih detail, laporan S&P global menyatakan tingkat keyakinan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret.
“Tingkat keyakinan usaha manufaktur terus menunjukkan peningkatan hingga mencapai level tertinggi sejak Maret. Perusahaan berharap kondisi ekonomi akan membaik yang bisa mendorong penjualan. Selain itu, dunia usaha juga terus menambah input dan merekrut tenaga kerja di awal kuartal IV-2022 yang merefleksikan ekspektasi positif terkait output ke depannya,” kata Jingyi Pan, Economic Associate Director di S&P Global Market Intelligence, dalam rilisnya Selasa (1/11/2022).
Jika dilihat dari lapangan usaha, industri pengolahan menjadi kontributor terbesar PDB. Di kuartal III-2022 lalu, kontribusinya mencapai 17,88%.
Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Indonesia pada Oktober 2022 mencapai 5,71% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.
“Inflasi di Oktober ini terlihat mulai melemah. Pada Oktober 2022 terjadi inflasi sebesar 5,71%,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers Selasa (1/11/2022).
Penurunan inflasi ini lagi-lagi menjadi kabar bagus, inflasi yang melandai dengan IKK yang meningkat, tentunya bisa mendongkrak belanja rumah tangga. Pertumbuhan ekonomi pun bisa lebih kencang lagi ke depannya.
Selain itu, neraca perdagangan juga masih memperpanjang surplus menjadi 30 bulan beruntun.
Faktor utama pemicu capital inflow ke pasar SBN yakni bank sentral AS (The Fed) yang diperkirakan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya setelah tingkat pengangguran mengalami kenaikan, dan inflasi menurun.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan tingkat pengangguran bulan Oktober naik menjadi 3,7% dari bulan sebelumnya 3,5%.
Kemudian inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) dilaporkan tumbuh 7,7% (yoy). Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 8,2% (yoy).
Inflasi tersebut sudah mulai menurun sejak Juli lalu, semakin menjauhi rekor tertinggi 40 tahun di 9% yang dicapai pada Juni lalu.
CPI inti dilaporkan tumbuh 6,3% (yoy), turun dari Oktober 6,5% (yoy).
Pasca rilis tersebut, pelaku pasar melihat The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya pada bulan depan.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas suku bunga naik 50 basis poin menjadi 4,25% – 4,5% pada Desember kini sebesar 75%, naik jauh dari hari sebelum pengumuman data inflasi sebesar 56%.
Seperti diketahui, The Fed sebelumnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin empat kali beruntun hingga suku bunga saat ini menjadi 3,75% – 4%.
Meski demikian, Presiden The Fed wilayah San Fransisco, Mary Daly mengatakan data inflasi tersebut memang kabar bagus, tetapi masih jauh dari kemenangan.
“Inflasi 7,7% secara tahunan masih terlalu tinggi dan jauh dari target bank sentral sebesar 2%,” kata Daly sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (10/11/2022).
Beberapa pejabat The Fed juga menyambut baik rilis inflasi tersebut, tetapi Presiden The Fed wilayah Dallas, Lorie Logan mengatakan suku bunga masih akan tetapi dinaikkan, meski dalam laju yang lebih lambat.
“Saya percaya mengendurkan laju kenaikan suku bunga akan tepat, jadi kita bisa menilai dengan lebih baik bagaimana perkembangan kondisi finansial dan ekonomi,” kata Logan.
The Fed akan kembali mengumumkan suku bunga pada 14 Desember waktu setempat, jika benar mengendur, begitu juga dengan proyeksi ke depannya, maka ada peluang capital inflow ke pasar SBN akan terus berlanjut.