Jakarta, Marketnesia.id- Wacana redenominasi rupiah kembali menjadi topik masyarakat, setelah Bank Indonesia (BI) merilis mata uang kertas tahun emisi 2022.
Adapun, pecahan yang dirilis yaitu Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000.
Jika diterawang, rupiah emisi 2022 ini menampilkan gambar tokoh pahlawan beserta satuan nominal rupiah tanpa ada tiga nol. Misalnya, pecahan Rp 100.000 yang memuat gambar Soekarno dan Mohammad Hatta dengan angka 100.
BI beralasan bidang uang yang sempit, menjadi alasan bank sentral menghapus tiga angka nol di belakang nilai rupiah tersebut.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan redenominasi secara teori sebaiknya dilakukan ketika kondisi perekonomian dan inflasi stabil.
“Merujuk pengalaman negara-negara yang sukses dan atau gagal melaksanakan rendemoninasi lesson learned-nya begitu,” papar Piter.
Sekarang ini, menurut Piter, dunia dan Indonesia berada dalam kondisi yang dipenuhi ketidakpastian.
Selain itu, tekanan inflasi sangat besar. BI dan pemerintah harus fokus menjaga stabilitas perekonomian dan keuangan.
“Oleh karena itu, redenominasi tidak sebaiknya dilakukan saat ini,” kata Piter.
Piter menambahkan redenominasi perlu persiapan panjang. Menurutnya, persiapan ini menjadi langkah yang paling penting, terutama dalam hal kesepakatan politik
“Harus ada Undang-Undang yang mendasari dan menjadi jaminan kebijakan ini didukung bersama-sama dan konsisten,” tegasnya.
Namun demikian, dia melihat undang-undang redenominasi bisa disepakati sekarang, meski kondisi belum ideal untuk eksekusi kebijakannya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan redenominasi belum tepat jika dilakukan dalam 2-3 tahun kedepan.
Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga.
“Pertimbangan utama adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan nilai ke atas,” ungkap Bhima, Selasa (23/8/2022).
Misalnya, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp9.200, kemudian tidak mungkin menjadi Rp9,5 setelah redenominasi. “Yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp10. Ada pembulatan nominal baru ke atas,” sambungnya.
Akibatnya, harga barang akan naik signifikan. Kondisi ini dikhawatirkan akan sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI.
“Akibatnya apa? hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,” katanya.
Selain itu, Bhima menuturkan pemerintah dan BI harus melihat pelajaran kegagalan redenominasi dari Brazil, Rusia dan Argentina karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal.
“Dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang cukup besar di Indonesia setidaknya butuh waktu 10 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat,” ungkapnya.
marketnesia.id