Sejak mewabahnya penyebaran COVID-19 (dikenal dengan nama “virus Corona”) di Indonesia pada pertengahan bulan Maret 2020 lalu, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan, himbauan hingga larangan berkumpul untuk mengantisipasi penyebaran virus tersebut secara masif.
Pelaksanaan kebijakan tersebut tentunya akan membuat entitas bisnis terganggu, dan dapat membuat banyak pelaku usaha mengalami kegagalan dalam memenuhi perjanjian (“default”), misalnya gagal bayar atas suatu pembayaran hutang yang telah jatuh tempo.
Dalam hukum perjanjian, tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan dapat dikategorikan sebagai perbuatan ingkar janji (dikenal dengan sebutan “Wanprestasi”). Kegagalan pelaku usaha dalam melakukan pembayaran hutang yang telah jatuh tempo sebagaimana telah diperjanjikan dapatlah dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi.
Namun, kegagalan memenuhi perjanjian tersebut dapat dibenarkan secara hukum jika dapat membuktikan adanya halangan yang tidak dapat dihindari untuk memenuhi prestasi tersebut (dikenal dengan sebutan “Force Majeure”). Dasar hukum force majeure ini diatur di dalam ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata.
Terkait dengan hal tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah wabah COVID-19 dapat dijadikan alasan force majeure atas kegagalan debitur dalam membayar hutangnya yang telah jatuh tempo kepada kreditur?
Menurut pendapat penulis, kebijakan Pemerintah atas wabah COVID-19 tersebut telah membatasi ruang gerak para pelaku usaha, yang mana kebijakan tersebut diluar dugaan dan tidak dapat dihindari oleh pelaku usaha, sehingga bukan tidak mungkin menimbulkan suatu situasi dimana pelaku usaha tersebut mengalami gagal bayar kepada pihak ketiga.
Sehingga kondisi tersebut dapat saja dijadikan alasan force majeure atas kegagalan pemenuhan prestasinya, sepanjang tidak diperjanjikan sebaliknya. Oleh karenanya perlu juga untuk mencermati klausul force majeure yang tertuang di dalam perjanjian tersebut.
Meskipun diakui sebagai force majeure dan tidak diperjanjikan sebaliknya oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, namun bukan berarti pihak yang gagal memenuhi prestasi tersebut dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban pemenuhan prestasinya, melainkan alasan force majeure tersebut dapat digunakan untuk mengajukan penundaan pemenuhan prestasi berupa rescheduling pembayaran. Hal ini sejalan dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) yang telah menerbitkan kebijakan relaksasi kredit kepada para debitur yang terdampak wabah COVID-19.
Dengan demikian terhadap situasi pelaku usaha yang gagal melakukan pembayaran yang jatuh tempo kepada pihak ketiga karena force majeure tersebut, maka pelaku usaha tersebut memiliki alasan untuk dibebaskan dari biaya, rugi dan bunga sebagaimana ketentuan pasal 1245 KUHPerdata dan berhak memperoleh relaksasi kredit berupa rescheduling.
*Sakta Mahadiwya Prasatya
Praktisi Hukum Bisnis, Managing Partners of Mahadiwya & Associates Law Office